Sep 27, 2013

Penjual Mimpi

Sepertinya, aku baru saja selesai mandi. Muka putih bedak bayi dan aroma minyak telon menghiasi tubuh mungil. Sambil disuapi ibu nasi dan sup ayam di depan televisi, kulihat Nobita sedang menangis kepada Doraemon. Lagi-lagi karena Giant dan Suneo mengejeknya sepulang sekolah.

Terdengar suaranya lantang, berkeliling di depan rumah. Aku berlari keluar sambil mengunyah. Ibu pun ikut berlari menyusul ke pintu depan. Ia berhenti tepat di depan pagar, tersenyum dan menyapa, seakan sudah biasa. Bawa apa aja Bang, kutanya. Ia memikul sebuah rak bambu, setinggi manusia dewasa. Seperti tukang sulap, ia membuka satu per satu lapisannya.


Lapisan pertama, buku anak. Mataku berbinar-binar. Ia mengambil satu persatu buku, lalu menceritakan dengan singkat isinya. Tentang gembala dan dombanya, tentang anjing yang setia, gadis penjual korek api, burung gagak yang licik, petani anggur dan ketiga anaknya, keledai yang gemar mengeluh, kakek penjual toko permen, dan cerita lainnya. Aku membuka setiap lembar, harumnya serasa di surga. Kutunjukkan pada ibu, dan ibu pun tersenyum dengan manisnya.

Lapisan kedua, mainan. Ia menunjukkan balok-balok berwarna. Mau buat rumah, atau jembatan, sekolah, menara, gedung bertingkat lima, atau taman ria, ia bertanya. Mau buat dunia, dengan segala isinya, kujawab. Yah, tapi baloknya cuma lima. Lalu ia menunjukkan ular tangga panjangnya bukan kepalang. Papannya tak tipis mendatar, namun tinggi menjulang setinggi telinga. Kok gini Bang, gimana mainnya. Namanya juga naik turun tangga, bukan maju mundur, ia berkata seadanya. Oiya ya, benar juga.

Lapisan ketiga, mataku tertuju pada sekotak lilin malam warna-warni di sisi rak. Seperti membaca pikiran, ia mengambil kotak tersebut dan membuat bentuk hewan. Coba buat ayam berkaki empat, eh tidak, berkaki tujuh seperempat, kuminta. Ia tertawa, mana ada ayam berkaki empat, apalagi tujuh seperempat. Bikin jerapah dengdek Bang, lehernya miring ke kiri, supaya baik jalannya. Ia berkata bahwa, ini lilin ajaib, apapun bentuk hewan yang dibuat bisa hidup dan berjalan. Spontan aku berkata, ya udah bikin kudanil pakai kacamata, Bang. Kenapa pakai kacamata, tanyanya. Pengen aja, suka-suka, biar gaya, kujawab. Akhirnya ia membuat bentuk hewan yang kuminta, lalu meniupnya dengan mantra sakti mandraguna. Hitung sampai tiga. Satu, dua, tiga! Tapi si kudanil diam saja. Oh, saya lupa, mantranya sudah kadaluarsa, katanya, tanpa berdosa.


Lalu tiba-tiba mataku terbuka dan kembali ke dunia nyata.  

2 comments: