Sepertinya, aku baru saja selesai mandi. Muka putih bedak
bayi dan aroma minyak telon menghiasi tubuh mungil. Sambil disuapi ibu nasi dan
sup ayam di depan televisi, kulihat Nobita sedang menangis kepada Doraemon. Lagi-lagi
karena Giant dan Suneo mengejeknya sepulang sekolah.
Terdengar suaranya lantang, berkeliling di depan rumah.
Aku berlari keluar sambil mengunyah. Ibu pun ikut berlari menyusul ke pintu
depan. Ia berhenti tepat di depan pagar, tersenyum dan menyapa, seakan sudah
biasa. Bawa apa aja Bang, kutanya. Ia memikul sebuah rak bambu, setinggi
manusia dewasa. Seperti tukang sulap, ia membuka satu per satu lapisannya.
Lapisan pertama, buku anak. Mataku berbinar-binar. Ia
mengambil satu persatu buku, lalu menceritakan dengan singkat isinya. Tentang gembala
dan dombanya, tentang anjing yang setia, gadis penjual korek api, burung gagak
yang licik, petani anggur dan ketiga anaknya, keledai yang gemar mengeluh,
kakek penjual toko permen, dan cerita lainnya. Aku membuka setiap lembar,
harumnya serasa di surga. Kutunjukkan pada ibu, dan ibu pun tersenyum dengan
manisnya.
Lapisan kedua, mainan. Ia menunjukkan balok-balok berwarna.
Mau buat rumah, atau jembatan, sekolah, menara, gedung bertingkat lima, atau
taman ria, ia bertanya. Mau buat dunia, dengan segala isinya, kujawab. Yah, tapi baloknya cuma lima. Lalu ia
menunjukkan ular tangga panjangnya bukan kepalang. Papannya tak tipis mendatar,
namun tinggi menjulang setinggi telinga. Kok gini Bang, gimana mainnya. Namanya
juga naik turun tangga, bukan maju mundur, ia berkata seadanya. Oiya ya, benar
juga.
Lapisan ketiga, mataku tertuju pada sekotak lilin malam
warna-warni di sisi rak. Seperti membaca pikiran, ia mengambil kotak tersebut
dan membuat bentuk hewan. Coba buat ayam berkaki empat, eh tidak, berkaki tujuh
seperempat, kuminta. Ia tertawa, mana ada ayam berkaki empat, apalagi tujuh
seperempat. Bikin jerapah dengdek Bang,
lehernya miring ke kiri, supaya baik jalannya. Ia berkata bahwa, ini lilin
ajaib, apapun bentuk hewan yang dibuat bisa hidup dan berjalan. Spontan aku
berkata, ya udah bikin kudanil pakai kacamata, Bang. Kenapa pakai kacamata,
tanyanya. Pengen aja, suka-suka, biar gaya, kujawab. Akhirnya ia membuat bentuk
hewan yang kuminta, lalu meniupnya dengan mantra sakti mandraguna. Hitung
sampai tiga. Satu, dua, tiga! Tapi si kudanil diam saja. Oh, saya lupa,
mantranya sudah kadaluarsa, katanya, tanpa berdosa.
Lalu tiba-tiba
mataku terbuka dan kembali ke dunia nyata.
i love this kind of dream. penuh warna warni masa kanak-kanak :)
ReplyDeletehe eh, rasanya ga mau bangun, ra
ReplyDelete