Jan 19, 2008

Pink Floyd "The Wall" (1982)


tadinya saya ga ga punya niat buat ngereview atau ngebahas film ini sekalipun. alasannya?

pertama. saya bisa bilang saya termasuk orang yang ga dengerin dan ngerti musiknya pink floyd sama sekali. saya ga tau hitsnya (untuk sekarang, selain the wall, tentu saja. hehe), karakteristik musik yang mereka bawain kaya apa, apalagi perjalanan karier band ato tiap2 personilnya. dengan kata lain, pengetahuan saya akan Pink Floyd NOL BESAR. hehe. maaf ya.

kedua. sampe satu jam pemutaran film berlangsung, dahi saya masih berkerut, tangan masih menopang dagu, mata masih micing. saya ga ngerti sama sekali ini film mau bercerita tentang apa dan tentang siapa. jalan cerita yang maju mundur. diselipi dengan ilustrasi2 yang sangat 'abstrak' menurut saya. diiringi dengan musik Pink Floyd yang cukup 'seram'. hehe. ditambah sound system 'nyala-mati' dari pihak penyelenggara yang cukup membuat mood saya naik turun pas nonton. udah ga ngerti, tambah ga ngerti.

yah itu dua alasan besar kenapa saya tadinya memilih 'no comment' untuk film ini. tapi setelah ngobrol panjang lebar sama Mba Andra sepanjang jalan pulang, saya jadi ter-insight untuk sekedar menuliskan opini saya tentang film ini. opini itu salah satu bentuk apresiasi bukan?

emosional.

film ini sangat penuh dengan ekspresi emosi negatif. marah. sedih. kecewa. emosi yang akhirnya muncul dalam bentuk tingkah laku diam dan memberontak. saya yang tadinya punya tanda tanya besar di kepala saya ketika nonton selipan ilustrasi abstrak pada film ini jadi 'sedikit' ngerti. ooohh. jadi karena saking 'marah'nya, saking 'sedih'nya, saking 'kecewa'nya tokoh utama dalam film ini sampe ga bisa diungkapkan dalam bentuk 'realistis'. maksud realistis di sini, ditampilkan oleh para pemain dalam film ini. mungkin sang manusia di balik film, yang konon katanya adalah vokalis band, Roger Waters, baru merasa bisa menampilkan ekspresi emosi yang dia rasakan secara maksimal lewat ilustrasi2 tersebut. mungkin yah. karena saya sebagai penonton juga baru bisa merasakan emosi tersebut dengan 'wah' lewat ilustrasi2 abstraknya.

sepenangkepan saya lagi, tokoh dalam cerita itu, which is the vocalist, bisa dibilang mengalami masa kecil yang traumatis. kalo di film sih digambarkan dengan latar belakang perang dunia 2 (nampaknya yah) serta kondisi dirinya di rumah dan di sekolah yang menjadi anak terlantar dan tertindas. masa dewasa? perselingkuhan. istri sang tokoh diceritakan berselingkuh. hmph.

dari sana, bisa dirasakan betapa negatifnya emosi yang dia miliki?
dia marah, dia kecewa, dia sedih, sampe akhirnya dia diam. dalam film digambarkan, wujud ekspresi yang ia pilih adalah diam. dengan tidak bereaksi terhadap manusia di sekitarnya, bahkan terhadap istrinya sekalipun. hanya diam? ternyata tidak. tokoh juga diperlihatkan melakukan adegan menghancurkan seisi rumahnya dan mencukur habis rambut yang ada di tubuhnya (sampai alisnya pun ia cukur). adegan yang menarik adalah, setelah ia membanting barang2nya dan memecahkan kaca2 yang ada, ia menyusun kembali serpihan2 hasil 'hancuran'nya itu menjadi suatu 'pola' di lantai rumahnya. bukan. bukan sekadar pola. tapi semacam karya-seni-dua-dimensi mungkin yah?

hmph.
film ini memang harus dicerna dulu sebelum bisa sedikit ngerti. mungkin itu juga baru secuil.

2 comments:

  1. The Wall is much more than the portrayal of a man who has an overbearing mother, an absent father (due to the war), and a cheating wife. Waters looks at a post-WWII world filled with hypocrisy, disconnectedness, and the cult of the celebrity. It is very, very British in its outlook on life, taking aim at (among others) the educational system ("We don't need no education. We don't need no thought control. No dark sarcasm in the classroom. Hey, teacher, leave those kids alone!") and the breakdown of family life. The story offers no solutions and desperately little hope...but I found the movie enthralling as it created a strong atmosphere and effect. I remember walking out of the theater (after sitting through two showings in the same evening) with my brother and we discussed the movie for a couple of hours afterwards. I would gladly watch it again to discover what other ideas/feelings/impressions it evokes.

    ReplyDelete