Feb 17, 2022

Teka-teki Seru



 "Life is like a crossword puzzle. 

There are ups and downs, solve it wisely. " 

- Amith Bal


Sore sehabis hujan begini, mendengarkan musik sambil minum jahe rasanya pas. Mendengarkan Cat Stevens bernyanyi Father and Son bersama Eddie Vedder. Lalu tiba-tiba teringat. Dulu aku dan Bapak sering mengisi bersama Teka-Teki Silang di koran Kompas Minggu. Entah dari mana ia selalu tahu istilah-istilah yang tak pernah kudengar sebelumnya, tanpa membuka kamus atau mesin pencari. Kata-kata serapan dari bahasa asing, atau 'kata purba' yang ternyata artinya unik dan menarik. 


Pernah di usia SD, aku mengirimkan salah satu hasil isian TTS Kompas. Dengan berbekal perangko beli di Toko Budi, tempat biasa jajan es mambo, kue bolu, dan kerupuk ikan. Naik motor dibonceng Bapak ke kantor pos. Rasanya deg-degan tak terkira saat mengirimkan. Pak petugas bertanya, hendak mengirim apa, kubilang, "Jawaban Teka-teki Silang, Pak." Si Bapak tertawa mendengar jawabanku saat itu, seraya bertanya, "Siapa yang isi jawabannya?". Barangkali ia tak percaya anak berbadan kecil dan berambut merah ini bisa mengisi sekian banyak kotak TTS sendiri. 


Wah Pak Petugas.. Padahal memang bukan saya hehe. Saya hanya bertanya, mencocokkan jumlah kotak, dan menuliskan jawaban dari Bapak. Kalau yang hanya 3 kotak, kata penghubung, atau istilah receh saya tahu (bangga!). Tapi seringkali kemudian isian tersebut mentok tidak berkesinambungan sampai seluruh isi kotaknya penuh. Kerap terjadi saya cari-cari kata yang sekiranya saya bisa, lalu dengan congkak berkata pada Bapak, "Ini mah aku tahu, hehehe." Bapak biasanya hanya mesam-mesem sambil mengusap halus rambut saya. 


Dipikir-pikir, mengisi TTS itu selain seru, banyak gunanya juga ya. Uji wawasan, fleksibilitas berpikir, dan kemampuan cocoklogi. Seringkali sudah percaya diri menuliskan jawaban, ternyata saat menuliskan kata yang bersinggungan, eh salah. Jadilah coba cari kata lain yang kira-kira lebih tepat. Kalau tidak ketemu, biasanya Bapak to-the-rescue. 


Teka-teki Silang juga banyak macamnya. Mulai dari yang kecil sederhana di majalah Bobo, besar dan njelimet di koran Kompas, sampai ada buku TTS yang biasa dijual di terminal angkot atau bis kota. Saya ingat dulu waktu SMP, sering dijajakan penjual keliling, buku TTS yang bersampul warna-warni dengan foto model kalender toko mas pada zamannya. Tak kira-kira, harga seribu, bonus pulpen Snowman hitam untuk mengisinya. Pernah suatu kali saya coba beli, di bis menuju pusat kota. Sambil menunggu bis ngetem cari penumpang, saya coba isi TTS-nya. Wah ternyata ditipu. Satu kata dengan kata yang lain Jaka Sembung, alias ga nyambung hehehe. Cukup sekali saya beli, sisanya saya jadikan alas bungkus kacang atau kuaci. 


Sampai sekarang, saya masih rutin beli koran Kompas Minggu. Lalu mengajak suami dan si kecil mengisi TTS. Kalau kita mentok, langsung telfon Bapak. 

"Haloo, Atun. Lihat TTS Kompas Minggu yaa. 

4 mendatar, 5 huruf, sinonim kangen. 

Jawabannya ... 

RINDU." 

Jul 8, 2021

membelai helai


Sejak pandemi, urusan potong rambut selalu membuat putar otak. Sesekali ketika sedang pulang, ku minta sang Kakak dengan skillnya sejak dulu untuk merapikan rambutku.


"Potong rata aja, Wu. Yang penting ga njeriwis, ga rontok."
Dalam hitungan menit, tibalah rambut baru. Tak jarang kependekan, supaya awet rapi katanya, hehe. Lalu ku ingat dulu, sewaktu masih usia SD. Ibuku rutin memotong rambutku, dengan model yang sama, poni dan bob rata.

Seringkali aku menangis di depan cermin, ketika merasa rambutku kependekan. Uniknya ketika menangis, aku mencari atau menyebut nama orang yang saat itu sedang tidak di rumah. Bapak menjadi nama yang sering kusebut, waktu itu ia sering bertugas keluar kota, dan sering membelai rambutku. Ketika semua orang di rumah, aku kerap memanggil Om Baheng. Salah satu Om kesayangan, yang saat ini sudah berpulang.

Dulu, Om Baheng sering mengajak kami nonton di bioskop. Syaratnya hanya satu: untuk beli tiket, harus pakai tabungan. Saat itu yang kuingat, uang tabungan didapat dari pekerjaan rumah tangga. Bapak membuat daftar pekerjaan, beserta jumlah uang yang didapat jika menuntaskannya. Ternyata, saat ini ku baru sadar. Jumlah uang yang paling besar, bukan pekerjaan yang berat, melainkan: injek-injek punggung dan cabut uban. Untungnya uban Bapak belum banyak waktu itu. Kalau sebanyak sekarang, bisa-bisa aku menonton di bioskop setiap hari.

Om Baheng sering punya tebakan yang lucu. Bapak sampai membelikanku buku Asbak (Asal Tebak). Supaya jika Om Baheng datang, aku bisa membalas memberikan tebakan yang tak dapat ia jawab. Satu hal yang kuingat, sebanyak apapun ia makan, tubuhnya tetap kurus. Dan ia juga penyayang binatang.

Kembali ke rambut, saat ini rambutku sudah panjang melewati bahu. Terakhir kali rambutku sepanjang ini, saat aku kalah taruhan final Piala Champion. Geng Somplak namanya, dibentuk saat kelas 3 SMP. Kupegang MU saat itu, semua temanku menjagokan Real Madrid. Taruhannya: yang kalah, tak boleh potong rambut sampai beres Ujian Akhir. Nasib ya nasib, ku kalah seorang diri.

Jadi, pandemi ini, ku menikmati panjang rambutku. Pada setiap helainya, ada kasih sayang dan kenangan dari orang-orang terdekat. Ditambah lagi, di ujung hari, ada tangan kecil yang membelai ❤.

Jul 2, 2021

iqra


Matanya tertuju pada seekor sepasang  kupu-kupu. Putih dan kecil, mereka asyik beterbangan kesana kemari. Seakan mengajak menikmati matahari pagi tanpa beban. Lalu, tangannya menyentuh kuncup bunga liar. 


"Ibun, ini bunga apa?"
"Dandelion, Nak. Nanti kalau dia mekar, jadi begini."
"Kenapa mekar?"
"Yaa.. namanya bertumbuh, Nak."
"Kenapa tumbuh?"

Lalu aku terdiam sejenak. Ingin hati menjawab, karena itu fitrahnya. Namun aku memutuskan untuk bertanya kembali padanya. 

"Iya ya, kenapa tumbuh ya?" 
"Mungkin dia mau ketemu kupu-kupu." 

Entah mengapa, saat itu kalimatnya terasa bersahaja. Dandelion bertumbuh, tanpa diminta. Mungkin kehadirannya dinantikan sepasang kupu-kupu mungil, untuk sekadar  saling bertegur sapa. Menanyakan kabar diri dan handai taulan. Lalu keduanya menghibur hati siapapun yang melihatnya. 

Sesaat ku termenung. Kesibukan dan kekhawatiran beberapa waktu ini, kerap membuat luput menikmati suasana begini. Membaca pagi dan segala kebaikan yang Tuhan berikan. 

Aug 4, 2019

mencari setimbang




Dalam satu buku milik Kalun karya Marjanne Satrapi, diceritakan jauh di dalam bumi, tinggallah seekor penjaga yang sedang menggeliat kesakitan. Sebuah bor penggali tanah menghunjam begitu dalam hingga mengenai tubuhnya. Di atas terjadi goncangan. Para makhluk hidup bertransformasi. Seorang gadis kecil diutus oleh Raja nan suka membeli rotinya sendiri untuk menjenguk Naga Sang Penjaga. 

Malam itu, di tengah senda gurau, tiba-tiba goncangan terjadi. Hebat sekali. Di lantai 15, kami hanya berdua. Aku dan Kalun. Awalnya cermin yang tergantung tenang, terasa bergoyang. Kupikir ia tak sengaja terkena tanganku yang sedang memasang kait tirai. Lalu kudiamkan. Ternyata ia kembali bergoyang, makin hebat.  Lalu kulihat Kalun masih asyik dengan mainan kereta. Sesaat aku terdiam, "Harus apa?". Atur nafas 2 kali. 

Perlahan mulai terdengar sahut-sahutan orang di lorong, "Gempa, gempa!". Aku meraih Kalun, disusul telepon genggam dan dompet. Ia terlihat bingung. Aku hanya bisa berkata, "Tenang ya, ada Ibun." Kami keluar, dan diarahkan ke tangga darurat. Dari lantai 15 hingga lantai dasar, dikelilingi orang-orang yang panik, langkah gemetar kakiku kutemani dengan senandung lagu kesukaannya. Ia tenang sekali. Aku berdoa dalam hati sambil terus berusaha bernyanyi.

Di bawah, ayahku sudah menanti. Mukanya terlihat pucat dan bersalah. Lima menit sebelum gempa terjadi, ia turun untuk membelikan kami makan. Di lahan parkir, kami erat memeluk satu sama lain. Langit begitu cerah. Ada banyak bintang di atas sana. Kalun bertanya, "Tadi ada apa itu?". "Bumi sedang goyang, Nak. Joged Kereta Malam. Kan tadi Kalun lagi main kereta," ujarku. 

Malam itu, 6,9 skalanya. Wahai Ibu Bumi, maaf kami luput menjaga. 
"Dadah, Gempa. Baik-baik ya, Bumi," ucap Kalun untukmu.

Aug 17, 2017

dirgahayu


"Tempat berlindung di hari tua,
sampai akhir menutup mata.."

Sejak Sabtu lalu, lagu itu kerap kusenandungkan sebagai pengantar tidur si kecil. Hari itu, di bawah langit, di atas rumput, di tengah keluarga besar, kami mengucap syukur bersama. Atas udara, sinar, air, tanah, serta segenap karunia Tuhan di bumi pertiwi. Hati pun serasa bergetar saat kami bernyanyi. Langit mendung seakan memberi teduh. Si kecil pun tertidur lelap dalam pelukan. Seakan larut dalam syahdu alunan lagu.


Rangkaian acara Slametan Semi Palar seperti menyadarkan kembali. Bukan perkara mudah membangun dan memelihara negeri. Indonesia tak berdiri dalam waktu semalam layaknya legenda candi. Namun, tak mudah bukan berarti tak mungkin. Ketika bara semangat terasa begitu hangat dalam ikatan keluarga, kesulitan apapun seketika lenyap. Tergantikan oleh gelak tawa dan genggaman tangan yang kuat.


Tuhan, terima kasih. Atas dilahirkannya kami di tanah air nan suci. Semoga masih diberi cukup usia, agar Indonesia tetap hidup saat tapak kaki anak-anak kami memijaknya kelak.