“But a bear and a mouse, it’s
just not…”
“Not what? Not seemly? Not
proper? Bears up above and mice down below?”
Célestine menorehkan
pensil di atas kertas gambarnya, membuat sosok seekor beruang dan tikus yang
sedang senyum berhadapan. Menjelang ujung malam, di sebuah kamar tidur panti
asuhan. “Tak mungkin!”, kata mereka. Beruang adalah hewan yang besar, ganas, buas,
kelaparan! Tidak hanya memakan satu tikus, atau sepuluh, bahkan ratusan! Mustahil
untuk selamat ketika bertemu dengan beruang.
Di sebuah rumah yang
berada di puncak bukit, butiran salju membangunkan Ernest dari masa hibernasi. Ia
berjalan setengah sadar, membuka satu persatu panci dan toples yang penuh debu.
Nihil. Hanya ada sedikit remah roti yang tersisa. Beberapa ekor burung hinggap
dan menyambut sisa makanan yang ia punya. Usahanya untuk menangkap burung
tersebut: Nihil. AARGH! Ia lapaar!! Ernest pun beranjak dari rumahnya, berbekal
seperangkat alat musik ke taman kota.
Gigi seri dan
makanan. Dua hal yang mempertemukan Ernest dan Célestine. Di depan sebuah toko
permen yang berseberangan dengan toko gigi, keduanya melakukan transaksi dan memulai
hubungan pertemanan mutualisme. Partner in
crime. Ernest kelaparan, dan Célestine membutuhkan gigi seri. Untuk apa?
Menggambar dan
bermusik. Nampaknya sulit menjanjikan penghidupan di tengah masyarakat urban. Tak
seperti dokter gigi dan pengacara. Seni seakan-akan hanya ditakdirkan sebagai bentuk
ekspresi, bukan jalur profesi. Berbisnis dengan segala manipulasi yang terdapat
di dalamnya pun lebih diterima dan dianggap legal. Seperti yang dilakukan oleh salah
satu keluarga Beruang. Sang ayah menjual permen kepada anak-anak kecil, agar
gigi mereka rusak, dan membeli gigi di toko yang dimiliki oleh sang ibu.
Akibat merampok di
kedua toko tersebut, Ernest dan Célestine pun menjadi buronan, baik di ‘dunia
atas’ tempat para beruang tinggal, maupun ‘dunia bawah’ di mana tikus-tikus
berada. Keduanya hidup bersama di puncak bukit. Ernest bernyanyi sepuasnya, Célestine
menggambar sesukanya. Rumah yang memberi mereka ruang untuk menjadi berbeda. Namun
kemudian keduanya pun tertangkap dan diadili dengan tuduhan menakut-nakuti.
Masyarakat kota,
dengan segala homogenitas peradaban yang menyertainya, kini nampaknya tumbuh
dan berkembang menjadi hakim yang picik. Nomotetis, bukan idiografis. Mereka yang
dengan mudahnya melabeli abnormalitas sebagai suatu bentuk kesalahan dan patut
mendapat hukuman.
Diadaptasi dari serial buku karangan Gabrielle Vincent. Manis, sekaligus kritis. Pada akhirnya, siapa kita untuk menilai?
Diadaptasi dari serial buku karangan Gabrielle Vincent. Manis, sekaligus kritis. Pada akhirnya, siapa kita untuk menilai?
masih pengen punya beruang?
ReplyDeletemauuu, beruang yang bisa ngamen ada?
ReplyDeletebahuss ini wit...
ReplyDeleteiyaa, bagus pisan :)
Delete