Jun 27, 2014

Ernest and Célestine (2012)

“But a bear and a mouse, it’s just not…”
“Not what? Not seemly? Not proper? Bears up above and mice down below?”



Célestine menorehkan pensil di atas kertas gambarnya, membuat sosok seekor beruang dan tikus yang sedang senyum berhadapan. Menjelang ujung malam, di sebuah kamar tidur panti asuhan. “Tak mungkin!”, kata mereka. Beruang adalah hewan yang besar, ganas, buas, kelaparan! Tidak hanya memakan satu tikus, atau sepuluh, bahkan ratusan! Mustahil untuk selamat ketika bertemu dengan beruang.

Di sebuah rumah yang berada di puncak bukit, butiran salju membangunkan Ernest dari masa hibernasi. Ia berjalan setengah sadar, membuka satu persatu panci dan toples yang penuh debu. Nihil. Hanya ada sedikit remah roti yang tersisa. Beberapa ekor burung hinggap dan menyambut sisa makanan yang ia punya. Usahanya untuk menangkap burung tersebut: Nihil. AARGH! Ia lapaar!! Ernest pun beranjak dari rumahnya, berbekal seperangkat alat musik ke taman kota.

Gigi seri dan makanan. Dua hal yang mempertemukan Ernest dan Célestine. Di depan sebuah toko permen yang berseberangan dengan toko gigi, keduanya melakukan transaksi dan memulai hubungan pertemanan mutualisme. Partner in crime. Ernest kelaparan, dan Célestine membutuhkan gigi seri. Untuk apa?

Menggambar dan bermusik. Nampaknya sulit menjanjikan penghidupan di tengah masyarakat urban. Tak seperti dokter gigi dan pengacara. Seni seakan-akan hanya ditakdirkan sebagai bentuk ekspresi, bukan jalur profesi. Berbisnis dengan segala manipulasi yang terdapat di dalamnya pun lebih diterima dan dianggap legal. Seperti yang dilakukan oleh salah satu keluarga Beruang. Sang ayah menjual permen kepada anak-anak kecil, agar gigi mereka rusak, dan membeli gigi di toko yang dimiliki oleh sang ibu.

Akibat merampok di kedua toko tersebut, Ernest dan Célestine pun menjadi buronan, baik di ‘dunia atas’ tempat para beruang tinggal, maupun ‘dunia bawah’ di mana tikus-tikus berada. Keduanya hidup bersama di puncak bukit. Ernest bernyanyi sepuasnya, Célestine menggambar sesukanya. Rumah yang memberi mereka ruang untuk menjadi berbeda. Namun kemudian keduanya pun tertangkap dan diadili dengan tuduhan menakut-nakuti.

Masyarakat kota, dengan segala homogenitas peradaban yang menyertainya, kini nampaknya tumbuh dan berkembang menjadi hakim yang picik. Nomotetis, bukan idiografis. Mereka yang dengan mudahnya melabeli abnormalitas sebagai suatu bentuk kesalahan dan patut mendapat hukuman.

Diadaptasi dari serial buku karangan Gabrielle Vincent. Manis, sekaligus kritis. Pada akhirnya, siapa kita untuk menilai? 


4 comments: