Dec 24, 2013

transit

No matter what anybody tells you, words and ideas can change the world.
(John Keating, Dead Poets Society)

Manusia, dengan segala isi hati dan kepalanya, konon diciptakan sebagai pengelola semesta. Ide-ide besar lahir dan berkembang, menyebar layaknya spora di udara. Mengisi setiap inci ruang perenungan, masuk dan mengendap dalam rupa yang berbeda, menguasai pergerakan makhluk hidup dan koloninya. Bersahutan, bertumpuk, bercampur, berlapis, lalu melebur, seakan baru tercipta. Namun tak ada yang asli, seperti kata mereka.


Seni, sebagai media ekspresi integrasi olah pikir dan rasa. Menajamkan kepekaan akan entitas diri dan apa yang ada di sekitar. Karena Tuhan begitu Maha Besarnya, Ia menciptakan tak satupun manusia yang sama. Ribuan, jutaan, milyaran, trilyunan. Jika hendak dimatematikakan, rasanya diperlukan angka pangkat kuadrat tak terhingga untuk menghitung kombinasinya.

Dengan segala keunikannya, manusia menciptakan karya seni, seni ‘menciptakan’ manusia. Memberikan pemaknaan pada pengalaman dan perasaan. Hujan rintik sore hari di tepi utara Bandung. Selasar Sunaryo. Rasanya seperti perayaan kelulusan terbaik yang pernah ada. Menikmati karya empat seniman yang mengalami masa residensi dengan karakteristiknya masing-masing.


Ahmad Jamparing

Kritis. Tajam. Radikal. Merah. Hitam. Lantang. Keras! Act Move! Rasanya seperti wujud gerakan anti-kemapanan. Seni baginya adalah “sisilain dari DINAMIKA moral manusia untuk mendukung sesuatu yang MENYEGARKAN”, sebagaimana tertuang pada salah satu karyanya. Arman dikatakan sebagai ‘seniman jalanan’, seringkali harus main kucing-kucingan dengan otoritas kepolisian dan keamanan. Energinya besar. Nampaknya jika saja ia bisa berteriak, gedung puluhan lantai pun luluh lantak dibuatnya.

anti-hero
m e r e k a



Claudia Dian

‘Spiritualitas rangka’. Halus. Berlubang. Sakit. Seperti berada di ruang hampa, ada perasaan sesak ketika melihat karyanya. Rangka, dimunculkan sebagai metafora objek untuk menampilkan gagasannya mengenai kesatuan antara makhluk dan Pencipta. Penyangga, sekaligus simbol kematian. Namun rasanya lebih personal, bukan hanya sebatas objek. Dan ternyata betul adanya, Dian mengalami kelainan tulang belakang (skoliosis) sejak remaja.

hollow studies

what i talk about when i talk about



Iwan Yusuf

Hiperealis. Tegas. Kuat. Presisi. Akurat. Detil hingga pori-pori. Ia dikenal sebagai pelukis yang mendalami potret. Iwan mengusung tema Kemanusiaan, yang ia wakili dalam bentuk wajah, bagian tubuh yang paling membedakan manusia yang satu dengan lainnya. Seperti mikroskop yang menelaah ekspresi manusia sampai sel terkecil. Foto dalam mikropiksel. Bahkan rasanya ketika kanvas dan cat tak cukup, ia menggunakan media lain, salah satunya jaring.

tatapan tembok

ilusi

Rio Sigit Baskoro

Urban dan masa kecil. Perkotaan tak pernah ramah terhadap manusia. Tak ada lagi taman kota. Mal mewah dan gedung perkantoran jadi juaranya. Setiap sudut diisi dengan fatamorgana kemewahan. Individu tak lagi berkuasa atas dirinya, mereka telah berubah menjadi konsumen. Nostalgia masa kecil, nampaknya bagi Rio menjadi pelarian dari kepungan gelombang arus urbanisasi. Namun tetap saja, saat ini yang ada adalah ‘anak kota’, dengan segala fasilitas permainan dan hiburan yang mengandalkan listrik dan stop kontak semata.

childhood memories #1
mallscape #2

Transit #2. Buat saya, ini tak sekadar ruang singgah sementara. 

2 comments: