Sep 24, 2012

light at the end of the tunnel



"The picture make the person looks so small, alone, and sad. The stars are so bright, but the person no longer enjoys it, why?"

"She's not sad. Alone, yes, but not lonely. She needs hope. Stars are hope. So she stands there, free her mind by staring at the stars. She's smiling, because she realizes that there's always hope out there. Up there."

Ia datang, layaknya hujan yang kemudian turun basahi bumi setelah matahari dengan teriknya menyinari. Kata orang bijak entah di mana, semua ada waktunya. Ketika siang hari, panas, sakit, kering, hingga telapak kakimu mengaduh ketika menginjak tanah, dan rasanya semua adalah omong kosong belaka. Tak ada nyata, hanya fatamorgana.

Lalu lambat laun datanglah senja, yang mengubah kuning terang perlahan menjadi jingga. Ketika sahutan ingatan untuk bersujud diserukan melalui gelombang udara. Dan manusia dalam temponya bergegas pulang. Menuju yang disebut ‘rumah’. Tempat dimana mereka tak perlu jadi siapa-siapa, dimana riasan dan atribut kebesaran tak lagi diperlukan. Pulang. Lalu menuju Tuhan.

Malam. Berada pada suatu ruang dan waktu bernama ‘rumah’. Ketika hingar bingar mulai hilang. Yang ada hanya lapisan terdalam dari diri untuk kemudian dipertemukan dengan sesama penghuni. Seperti ditemani hujan di kala langit lelah akan teriknya matahari, serasa diberkahi. Lalu percakapan pun terjadi. Kabar berita, keluh kesah, pengalaman, cerita bodoh, perasaan kesal-sedih-marah-senang-bukan-kepalang setelah menghadapi dunia pun tumpah ruah pada suatu pertemuan. Iya, pertemuan. Karena ternyata teknologi belum mampu mengalahkan kualitas tatap muka dan suara. Barisan kata dan ekspresi-muka-bulat-kuning-sederhana tak cukup kuat menjadi penggantinya. Bertukar pikiran, perasaan, bahkan gagasan yang seringkali melampaui akal sehat, lalu diakhiri dengan senyuman.

Dan ketika ia pulang, hujan pun mereda. Bintang pun perlahan menampakkan wujudnya, menemani bulan yang tak tentu bentuknya. Lalu aku berlutut sejenak di tepi jendela. Mendongakkan kepala, menatap langit yang tak lagi terik ataupun sama sekali hitam. Terang walaupun tak benderang, titik-titik cahaya pun datang. Mengingatkan bahwa segelap apapun langitmu, selalu ada harapan. Tak peduli dengan jaraknya yang mencapai ratusan tahun cahaya, barisan roket pun tersedia untuk membawamu mengudara.

No comments:

Post a Comment