Feb 28, 2013

festival




Sudah pukul dua belas. Sunyi senyap malam mengisi ruang tidurnya. Tubuhnya lelah, namun entah kenapa matanya enggan terpejam. Ia memandang foto di samping lampu tidurnya. Mengambil dan mengusap wajah dalam bingkai seakan hadir di depan mata. Terngiang senandung ayah sejak ia kecil. Di taman ria di sore hari, pasar malam musiman, toko es krim di persimpangan, jembatan sungai seberang, hingga di kebun binatang kecil di tengah kota. Ia tersenyum, lalu mendekapkan bingkai dalam genggamannya, mengucap lirih doa malam kepada Pencipta.

Sinar bulan perlahan masuk ke dalam jendela kamar. Menyorot tajam wajah pucat tengah malamnya. Ia terbangun dan memicingkan mata. Lalu samar-samar terdengar nyanyian nada. Lirih, namun jelas ada sesuatu di luar sana. Ia bangkit dan duduk terdiam di atas tempat tidur. Meyakini, ada seseorang yang sedang bernyanyi, tepat di luar kamarnya. Ia mencoba mendengarkan dengan seksama. Sesaat ia memaki suara jarum detik jam dinding yang mengganggu konsentrasinya.

Dalam hening dan lirih suara nyanyian, tiba-tiba terdengar tabuhan suara perkusi tunggal. Disusul dengan suara terompet yang cukup nyaring. Disertai oleh suara derap kaki, layaknya para prajurit yang sedang menuju medan perang. Jendela kamarnya pun semakin terang. Lampu-lampu jendela tetangga satu persatu menyala, menemani sinar bulan yang sedari tadi membangunkan. Tabuhan perkusi  semakin menggemuruh, bertautan, bersahutan. Terdengar suara desingan mesiu. Lalu dalam sekejap sinar bulan tergantikan warna-warni kembang api. Menggelegar, membahana, dan tepuk tangan serta sorak gembira pun terdengar.

Ia menyingkap selimutnya, bangkit, dan membuka kaca jendela. Terlihat orang-orang yang menari dalam balutan kostum cerah ceria dan tertawa gembira. Beberapa orang mengenakan hiasan kepala yang tingginya melebihi setengah tiang bendera. Anak-anak seusianya tergelak bahagia sambil membawa permen dan coklat dalam genggaman tangan. Orang-orang lanjut usia mengangkat tangannya dan menari seakan lepas dari beban dunia.

Samar-samar ia mendengar sahutan akan namanya oleh suara yang sangat ia kenal. Matanya mencari-cari suara yang telah lama. Lalu di sanalah berada. Ayah. Berdiri di tengah keriuhan, memanggil namanya sambil melambaikan tangan. Diterangi sinar bulan dari jendela, ia tersenyum manis dalam tidurnya,

”Ini mimpi paling indah”

6 comments:

  1. senang bacanya :) gambarnya lucu..pakai apa itu t?

    ReplyDelete
  2. adeuh alhamdulillah ada yg seneng hehe, pake paint :) blognya apa skrg ra?

    ReplyDelete
  3. berkaca2 bacanyaaaaa :,(

    ReplyDelete
  4. eh ko berkaca2? ini bikinnya sambil denger festivalnya sigur ros hehe

    ReplyDelete
  5. karena tiba2 di paragraf terakhir ada Ayah :,(

    ReplyDelete