“Our modern society is engaged in polishing and decorating the cage in which man is kept imprisoned.”
- Swami Nirmalananda
Selamat datang di dunia hiperbola.
Dimana kebutuhan primer tak lagi menjadi kebutuhan tunggal yang harus
terpenuhi saat itu juga. Lapar, berarti ingin makan, yang enak dan di tempat
yang bergengsi. Tak hanya sekadar mengenyangkan, tapi juga meningkatkan status
sosial di mata orang.
Minggu siang, sebagai salah satu calon konsumen apartemen di selatan ibukota,
ibu saya menunggu undian SATU mobil dengan SERATUS konsumen lainnya. Jengah
dengan permainan panggung, yang dipandu oleh bapak-bapak sok asik yang diiringi
organ tunggal, yang volume suaranya menggelegar seantero jagad, okey, we’re off.
Ke seberang jalan. Salah satu mini-market-berbangku lisensi dari negara penjajah
selama 3,5 tahun. Sekelompok anak gadis SMA berjilbab mengerjakan tugas bersama
di salah satu pojok ruangan, dengan teh botol dan bekas bungkus pop mie yang
tergeletak di meja mereka. Colokan, internet gratis, bangku, dan makanan. Serangkaian
objek yang kemudian menjadi konsep ideal untuk menjadi tempat mengerjakan tugas
kelompok, dan bercengkrama pastinya. Di luar, sekelompok pemuda berusia
belasan, berbaju hitam-hitam, skinny jeans, sandal jepit, rambut semi-mohawk,
dan gitar kecil, merokok sambil duduk menopangkan kaki di bangku besi. Tidak
terlihat adanya bekas bungkus minuman atau makanan di meja mereka. Salah satu
dari mereka masuk, dan membeli rokok, kemudian kembali keluar. Kali ini, rokok,
bangku, dan tempat menjadi serangkaian objek yang menjadi konsep tempat ideal
untuk nongkrong.
Kembali ke kantor pemasaran apartemen tersebut, si MC berkoar-koar akan
pentingnya memiliki apartemen sebagai hunian ibukota yang nyaman dan strategis,
dan meminta tepuk tangan para hadirin yang terhormat setiap kali ia menyebut
nama tempatnya. Akibat si pejabat terlambat, dua jam kemudian dari jadwal awal
yang ditentukan,
MC kepada kepala bagian marketing, “Sebentar lagi! Waktunya pengundian
SATU BUAH MOBIL ERTIGA AKAN TIBA!! Bapak, gimana pak, deg-degan?”
Kepala bagian marketing, “Ya lumayan, deg-degan?”
Deg-degan?!? Saya dan si kakak hanya bisa saling menatap semiotik. Eh lebay deh yey, mba, mas, ngapain juga
deg-degan. Mobil siapa juga.
Lepas dari kegaduhan, akhirnya berangkatlah ke salah satu pusat
perbelanjaan, masih di bilangan jakarta selatan. Ternyata tidak lebih baik. Manusia
kota sudah menjadi korban pesona gaya hidup urban. Tidak lagi mengedepankan
fungsi, gaya lebih utama. Bahkan sebagian ibu-ibu yang cantik terawat rupawan
penuh polesan tak lagi segan untuk berjalan di depan dan tanpa beban, membiarkan
anak balita mereka duduk manis di kereta, didorong oleh pengasuhnya. Tidak lagi
mementingkan peran dan tanggung jawab, gaya lebih utama.
Dan semua menjadi berlebihan. Saya cemas, iya. Ini menjadi gejala yang
universal dan mewabah dengan begitu cepatnya. Tanpa disadari, ‘tren’
menjadi oksigen. Kosmetis superfisial. Yang penting dari
luar besar dan bersinar, tak peduli lagi bagaimana isinya. Yang penting orang
melihat pakaian, perhiasan, atribut kekayaan, foto dan cerita liburan ke negeri
orang, tanpa ada perenungan.
Lalu muncullah fenomena ekspresi, “Terus gue harus bilang WOW gitu?” sebagai
respon antitesis yang ironis terhadap lebayisasi yang sedang melanda. Ekspresi yang
tak kalah berlebihan sebenarnya, namun ya manusia, tak pernah lepas dari drama.
Seakan mengikuti arus dan menjadi bagian dari trend masa kini, hingga sampai
pada kehilangan identitas diri, tak lagi menjadi kekhawatiran bagi mereka.
Yah, kembali pada pernyataan, bahwa hidup adalah pilihan. Saya melipir dan
mengamati saja. Silakan dinikmati selagi bisa, semoga segera diluruskan
jalannya.
Kendra..Kendraa. Kosmetis artifisial, bahasamu mba makin cihuy aja dah, hahaa.
ReplyDeleteTabik tulisannya, tapi yg universal tu loh, mudah2an hanya gejala sesaat. Oyah, gayanya tulisan ini agak etnografis yah, hehee.
-Kumbo-
eh mas kumbyo, yang meng'artifisial'kan judul tulisannya hehe.
Deleteamiin, tapi kalau liat karakter manusianya yang udah keburu krisis identitas sih, jujur aja rada pesimis. etnografis? yah, objeknya masi manusia, dalam konteks massal lah yaa
'prestise' tuh emang jadi magnet paling kuat bagi manusia buat melakukan keputusan pembelian (atau bahkan merembet ke buat melakukan segala aktivitas hidup), apalagi masyarakat Indonesia. Entah karena kita terlalu lama jadi negara miskin atau mental instan zaman sekarang. Kalo ngebayangin apa yang kamu gambarin di atas, jadi kepikiran kalo bangsa ini masih ditakdirin jadi bangsa penonton, pembeli, konsumen. Yang ada para penonton ini berlomba-lomba siapa yang paling keras bunyi tepuk tangannya. People we'll soon forget
ReplyDeletebaik pemirsa, beri tepuk tangan yang paling keras bunyinya untuk pakar manajemen pemasaran terkemuka se-baros raya!
DeleteAaaaww.. Kendra.. Me love it! :)
ReplyDeleteSuka banget sama gaya tulisannya! :)
- Nizar Wogan
eh makasii, mba nizar :)
ReplyDeletebaek2 di sana ya