“God has no
religion”
- Mahatma Gandhi
Percakapan pada
beberapa malam tenang bersama pembaca semesta. Bahwa manusia, iya tidak sepenuhnya
berkuasa. Bahwa ada Tuhan, iya yang Maha Kuasa. Bahwa selanjutnya keyakinan
dikotak-kotakkan, namanya menjadi agama. Ya ya ya.
Satu, saya
yakin. Dua, betul diyakini. Lalu, tiga, menjadi keyakinan. Bagaimanapun prosesnya
pada setiap manusia, pasti berbeda dan tidak terjadi lebih cepat daripada
kedipan mata. Dan ketika pada akhirnya
suatu keyakinan itu dipersalahkan karena tidak sesuai dengan keyakinan satu
golongan atau kelompok, salah?
Mereka berseru
bahwa Tuhan itu hanya satu. Oke, satu Tuhannya, bukan satu caranya. Lalu mengapa
jadi masalah ketika caranya berbeda? Apakah karena manusia dibekali akal
pikiran dan perasaan adidaya yang berlebihan sehingga merasa berhak menentukan
cara manusia lainnya berhubungan dengan Tuhan?
Siapa kamu?
Siapa saya?
Siapa kita,
dihadapNya?
Bahwa ada nilai-nilai
luhur dibalik ajaran, saya paham. Namun ketika nilai-nilai yang diejawantahkan
dalam bentuk aturan, hadis, atau apapun namanya, diaplikasikan dengan tidak
berdasar pada kepentingan manusia lain, apakah masih luhur namanya? Katanya hablum minallah wa hablum minannas. Vertikal
dan horizontal. Mungkin tidak hanya sebatas pada seberapa banyak doa yang
diucap, atau seberapa banyak rakaat shalat sunat yang dilakukan, tapi lebih
kepada seberapa besar niatnya dan sedalam apa maknanya. Nampaknya akan jadi
percuma jika kalimat-kalimat yang terdapat dalam kitab berhenti pada taraf ‘sudah
dibaca’. Iya, sudah dibaca, lalu? Sepertinya yang diminta tidak hanya untuk
dibaca, tapi dilakukan. Dan saya yakin, konteksnya pun sangat beragam. Tidak hitam
putih, bahkan ahli kitab pun mengatakan bahwa ayat itu multi interpretatif. Nampaknya
juga bukan hak si umat untuk mencap bahwa ini ‘benar’ atau ini ‘salah’ dalam
prakteknya. Pun sampai saat ini, yang digunakan sebagai standar ‘benar’ adalah ‘sesuai
dengan cara kami’, dan yang ‘salah’ adalah ‘tidak sama dengan cara kami’. Lalu sampai
pada, yang ‘benar’ akan masuk surga dan yang ‘salah’ akan ke neraka.
Siapa kamu?
Siapa saya?
Siapa kita,
dihadapNya?
Pada akhirnya, mungkin lebih baik duduk menenang sesaat,
menghadap dan bertanya, daripada ribut mengurusi cara manusia lain berdoa. Entahlah,
rasanya kita tak berukuran lebih besar daripada debu dalam alam semesta.
try to
realize it’s all within yourself no one else can make you change,
and to see you’re really only very small and life flows on,
within you and without you
and to see you’re really only very small and life flows on,
within you and without you
- The Beatles
Sayang sekali ketika kita menyebut sifat Tuhan sebagai sesuatu yang maha besar namun sikap kita terhadapNya justru malah membuat Dia semakin kecil dan remeh, dengan apa-yang-disebut keimanan yang didasari oleh ketakutan, bukan cinta kepadaNya.
ReplyDeleteironically superficial, i guess. harus berlayar di lebaran dulu ini mah
ReplyDeleteOh, "Pembaca Semesta"? Baiklah..
ReplyDeleteEmang cinta itu apa, kakaaaaak?
ehm, maaf rasanya saya ga menyebutkan kata cinta di tulisan. mungkin masnya yang bilang di komennya, bisa menjelaskan?
ReplyDeletebersyukurlah jika kalian telah menemukan apa yg pantas dan layak kalian imani..
ReplyDeletelayaknya puisi yg terlepas dari keinginan berkuasa atas bahasa.
sebagian dari kami mengimani menggurui itu adalah ibadah..dan sebagian dari teman kami mengimani mempersembahkan manusia kepada alam semseta itu ibadah, sebagian sebelah sana lagi dari teman kami mengimani mencambuk diri itu menghapus dosa, nah yang diblakang sana malah nyembah jemuran bikin mereka berpahala..
pluralitas ocehan dari para petapa intelektual kita gk selamanya benar buat sebagian moral..apakah kita mau mengghargai moral itu..?
berserulah, serukanlah meski kau simpan seruan itu dalam ruang yg paling diam.
jgnlah tidak berbuat apa2 untuk sebuah iman.
siap, niatnya baik kok, hehe. makasi banyak ya, aisy :)
ReplyDelete