“No matter what anybody tells you, words and ideas can change the world.”
(John Keating, Dead Poets Society)
Manusia, dengan
segala isi hati dan kepalanya, konon diciptakan sebagai pengelola semesta.
Ide-ide besar lahir dan berkembang, menyebar layaknya spora di udara. Mengisi
setiap inci ruang perenungan, masuk dan mengendap dalam rupa yang berbeda,
menguasai pergerakan makhluk hidup dan koloninya. Bersahutan,
bertumpuk, bercampur, berlapis, lalu melebur, seakan baru tercipta. Namun tak
ada yang asli, seperti kata mereka.
Seni, sebagai media
ekspresi integrasi olah pikir dan rasa. Menajamkan kepekaan akan entitas diri dan
apa yang ada di sekitar. Karena Tuhan begitu Maha Besarnya, Ia menciptakan tak
satupun manusia yang sama. Ribuan, jutaan, milyaran, trilyunan. Jika hendak
dimatematikakan, rasanya diperlukan angka pangkat kuadrat tak terhingga untuk
menghitung kombinasinya.
Dengan segala
keunikannya, manusia menciptakan karya seni, seni ‘menciptakan’ manusia. Memberikan
pemaknaan pada pengalaman dan perasaan. Hujan rintik sore hari di tepi utara Bandung. Selasar Sunaryo. Rasanya seperti
perayaan kelulusan terbaik yang pernah ada. Menikmati karya empat seniman yang mengalami
masa residensi dengan karakteristiknya masing-masing.
Ahmad Jamparing
Kritis. Tajam. Radikal.
Merah. Hitam. Lantang. Keras! Act Move! Rasanya
seperti wujud gerakan anti-kemapanan. Seni baginya adalah “sisilain dari
DINAMIKA moral manusia untuk mendukung sesuatu yang MENYEGARKAN”, sebagaimana
tertuang pada salah satu karyanya. Arman dikatakan sebagai ‘seniman jalanan’,
seringkali harus main kucing-kucingan dengan otoritas kepolisian dan keamanan. Energinya
besar. Nampaknya jika saja ia bisa berteriak, gedung puluhan lantai pun luluh
lantak dibuatnya.
![]() |
anti-hero |
![]() |
m e r e k a |
Claudia Dian
‘Spiritualitas rangka’.
Halus. Berlubang. Sakit. Seperti berada di ruang hampa, ada perasaan sesak
ketika melihat karyanya. Rangka, dimunculkan sebagai metafora objek untuk
menampilkan gagasannya mengenai kesatuan antara makhluk dan Pencipta. Penyangga,
sekaligus simbol kematian. Namun rasanya lebih personal, bukan hanya sebatas
objek. Dan ternyata betul adanya, Dian mengalami kelainan tulang belakang
(skoliosis) sejak remaja.
![]() |
hollow studies |
![]() |
what i talk about when i talk about |
Iwan Yusuf
Hiperealis. Tegas. Kuat.
Presisi. Akurat. Detil hingga pori-pori. Ia dikenal sebagai pelukis yang
mendalami potret. Iwan mengusung tema Kemanusiaan, yang ia wakili dalam bentuk
wajah, bagian tubuh yang paling membedakan manusia yang satu dengan lainnya. Seperti
mikroskop yang menelaah ekspresi manusia sampai sel terkecil. Foto dalam
mikropiksel. Bahkan rasanya ketika kanvas dan cat tak cukup, ia menggunakan media
lain, salah satunya jaring.
![]() |
tatapan tembok |
Rio Sigit Baskoro
Urban dan masa
kecil. Perkotaan tak pernah ramah terhadap manusia. Tak ada lagi taman kota. Mal
mewah dan gedung perkantoran jadi juaranya. Setiap sudut diisi dengan fatamorgana
kemewahan. Individu tak lagi berkuasa atas dirinya, mereka telah berubah
menjadi konsumen. Nostalgia masa kecil, nampaknya bagi Rio menjadi pelarian
dari kepungan gelombang arus urbanisasi. Namun tetap saja, saat ini yang ada
adalah ‘anak kota’, dengan segala fasilitas permainan dan hiburan yang mengandalkan listrik dan stop kontak semata.
![]() |
childhood memories #1 |
![]() |
mallscape #2 |
Transit #2. Buat saya,
ini tak sekadar ruang singgah sementara.
ganteng banget postingannya
ReplyDeletegantengan mana sama model fotonya?
ReplyDelete