"Keluar kosan dulu yah. Mentok, kaya temennya bebek."
Pesan untuk kekasih di tengah hari ini.
Jadi begini ceritanya jika hormon yang mengatur emosi bertindak.
Berlebihan. Dramatisasi. Dan hari ini, sengaja saya keluar sejenak dari pojok
kamar lantai dua. Tujuannya: bertemu manusia. Siapapun itu. Abang rumah makan
padang, pengamen, sampe teteh kapster. Bahkan ucapan terima kasih dari mereka
bisa bikin senyum sesaat.
Ketika kembali ke sini, hanya bisa menatap nanar tumpukan kertas dan
draft yang seharusnya selesai satu bulan yang lalu. Seperti berlari maraton, namun di tempat. Tak juga
sampai rasanya. Berputar pada halaman-halaman yang sama, dan masih berada pada
lingkaran kebingungan yang sama pula.
by Todd Parr |
Iya, dependen. Terkadang adanya begitu, mau bagaimana. Bertemu manusia
menjadi tujuan hari ini. Sehebat-hebatnya teknologi laptop yang diciptakan,
mereka tidak bicara. Tidak mampu memandang dua mata yang saat ini tengah
berkaca-kaca dan memberikan pelukan ketika periode drama tiba.
Sembahyang, menenangkan memang. Mengadu pada Yang Kuasa, mengapa hari
ini rasanya beda. Mengapa rasanya lelah, ingin keluar, dan berbicara dengan
sesama manusia. Ketika usai, mau tak mau mencari pelarian. Menulis. Ketika
sebenarnya banyak yang bisa dan biasa dilakukan, namun saat ini rasanya tak ada
pilihan.
Meracau. Berbicara melalui gerakan 10 jari dan layar yang tak
menampilkan reaksi yang berbeda ketika tangis tanpa alasan jelas melanda.
Kata-kata dalam kepala ingin dikeluarkan begitu saja, entah siapa yang mau
baca. Ketika ditempatkan dalam ruang dan waktu dimana tak ada orang terdekat,
rasanya cuma ingin menyingkirkan si-galau, dan menggantikan posisinya dengan si-senang, sebelum kembali
berkutat dengan tugas akhir yang tak-juga-berakhir.
Mencoba mengingat ketika senyum datang tadi sore. Logika,
tolong bantu pendam rasa.
“Terima kasih". Saya
terima, kasihnya.
No comments:
Post a Comment