"Pop
culture is not about depth. It’s about marketing, supply and demand,
consumerism."
– Trevor Dunn
Di sebuah plaza yang namanya indah di pusat kota
Bandung. Malam Jumat, dan tempat ini riuh ramainya mengalahkan pasar pagi.
Hingar bingar suara musik panggung yang terdengar hingga lantai 4, papan
potongan harga di akhir tahun yang menghiasi etalase dan keranjang-keranjang
pakaian, puluhan bahkan mungkin ratusan anak remaja yang masih berseragam
sekolah, kaum pekerja yang menggunakan pakaian rapi ala kantoran dan make-up tebal. Padat seakan tak
menyisakan ruang untuk bernafas dan sadar akan keberadaan.
Kali ini saya menyaksikan salah satu film Indonesia
yang merupakan adaptasi dari sebuah buku best
seller karya Donny Dirghantara. Masuk ke dalam gedung bioskop, antriannya
bagai ular-naga-panjangnya-bukan-kepalang. Lagi-lagi, sekilas mata memandang,
kelompok anak usia remaja merajalela di barisan, bahkan hampir di tiap pojok ruangan.
Dua kata dan satu tanda tanya dalam kepala, “Film apa?”. Tak usah menunggu
lama, cukup dengan melihat jumlah studio yang menayangkan satu film sudah mampu
menjawab pertanyaan saya. Iya, tiga studio sekaligus untuk film yang saya akan saksikan sesaat kemudian.
Bukan filmnya yang ingin saya kritik, tapi budaya yang
disuguhkan di dalamnya. Yah opini merupakan bentuk apresiasi, mau memuji atau
memaki, maaf tak usah dimasukkan ke hati. Film ini gaungnya luar biasa di social media, inspiratif dan film
Indonesia terbaik sepanjang tahun 2012 katanya. Kebetulan bukunya sudah pernah
saya baca sewaktu SMA. Berangkat dari rasa penasaran, akan seperti apa visualisasinya?
Nyatanya, pahit memang, menonton film Indonesia
belakangan ini memang sebaiknya tanpa ekspetasi. Makin tinggi harapan, makin
dalam rasa kecewanya. Mulai dari setting
rumah dan properti para tokohnya yang makmur sentosa, gaya bahasa dan gaya
hidup urban yang membuat gerah mata dan telinga, dramatisasi dialog dan adegan
yang terkesan hanya untuk menambah durasi film semata, membuat saya berulang
kali melirik jam tangan. Dua kata dan satu tanda tanya lainnya, “Kapan
selesainya?”
Namun nampaknya reaksi yang 180 derajat berbeda datang
dari kursi depan dan belakang saya, anak-anak baru gede rupanya. Mereka terbawa,
tertawa terbahak, bahkan berempati dengan sangat pada kondisi tokohnya. Ada apa
dengan Indonesia di sini?
Banyak hal, diulang untuk penegasan, banyak hal yang
sangat tidak masuk akal di film ini. Seingat saya hal-hal tersebut tidak
menjadi hal penting dalam bukunya, namun menjadi ‘dipentingkan’ dalam filmnya.
Dramatisasi, nampaknya menjadi kata kunci. Sayangnya, dramatisasi yang terjebak
pada kedangkalan logika bahkan emosi. Isu utamanya memang persahabatan dalam
pencapaian mimpi dan cita-cita, dengan bumbu nasionalisme. Namun sepanjang
film, melalui dominasi adegan-adegan dan karakterisasi tokoh yang ditampilkan, isu
cinta dalam lingkaran pertemanan dan gaya hidup sok asik ala anak-muda-kota
lebih jadi juaranya. Selera pasar menjadi landasan kemasan atas nama penjualan,
dan sayangnya juga menjadi cerminan tingkat kedalaman masyarakatnya. Kali ini dua kata dan harapan, "Semoga saja".
Harapannya suatu karya bisa mempengaruhi penikmatnya.. Tapi kayanya ga berlaku di negeri kita tercinta ya..
ReplyDeleteKarya malah 'diperbudak' dan disesuaikan agar bisa diperjualbelikan..
Ayoo wiitt.. Aq tunggu karyanya yaa..
Semoga bisa cetar membahana.. Hehe..
antara karya dan penikmat, kayanya hukum aksi reaksi ya. film tinggal nunggu editing doang ni, lama bet daah, moga2 hasilnya sesuatu banget ya sur hehe
ReplyDelete