Nov 1, 2012

Fight Club (1999)


“...You're not how much money you've got in the bank.  You're not your job. You're not your family, and you're not who you tell yourself.... You're not your name.... You're not your problems.... You're not your age.... You are not your hopes.”

~ Chuck Palahniuk



Jika aku bukanlah uangku, bukan pula pekerjaanku. Bahkan jika aku pun bukan harapanku, lalu siapa aku? Hanyalah seorang lelaki setengah baya pelaku rutinitas. Bangun di pagi hari, melakukan hal yang sama setiap hari, dan menjalani hari yang begitu-begitu saja kata mereka.

Insomnia. Aku marah, tahukah kamu? Karena aku cemas akan pengakuan atas keberadaanku. Ternyata sang cemas datang dalam wujud insomnia. Dan ketika pria dengan keluhan kanker itu datang memelukku, menangis meraung-raung sambil mengusap air matanya di depan wajahku, entah mengapa rasa lega datang dan dengan tenang dapat menutup kedua mataku hingga esok hari.

Namun ternyata tak berhenti sampai di situ. Energi rasa marah yang selama ini diam dan duduk manis, tak lagi bisa dipendam. Dan seseorang menantangku untuk berkelahi. Tanpa pakaian dan tanpa senjata. Tak ada batas waktu. Ia dapat melepaskan tinju ke arah wajahku sepanjang ia mampu dan mau. Puaskah ia? Tentu tidak. Darahku pun tak cukup. Ia meludahi, menghancurkan, membinasakan mereka yang punya kekuatan. Bukan hanya aku. Tapi mereka.

Tapi tolong jangan lakukan itu semua, hai teman. Aku tak bisa sejahat itu. Apa kata mereka nanti jika mereka tahu bahwa malam ini adalah malam terakhir mereka? Memangnya siapa aku? Malaikat pencabut nyawa pun bukan. Tak adil rasanya jika begitu. Jadi jangan salahkan aku jika aku membentakmu, teman. Karena kau salah, dan aku benar! Di mana hati nuranimu?! Masih berteriakkah rasa marahmu kepada dunia di dalam sana?! BILANG KALAU KAU BERANI! AKU BILANG, TERIAKKAN!!


Hilang. Kemana kamu? Pergi begitu saja meninggalkan aku disini dengan peralatan-penuh-dosamu. Lalu mengapa sang perempuan itu berada di sini dengan lelaki itu? Lalu mengapa ia membisikkan sesuatu di telingaku dengan perlahan, “Kamu bukanlah dia. Pergilah, wahai rasa marah. Pergi dan jangan tinggalkan jejakmu di sini. Karena ia bukanlah kau, yang meluap-luap dan merusak.” Mataku terpejam. Dan untuk yang pertama kalinya, aku tertidur dengan tenang.

Aku kembali menjadi aku seutuhnya. Bukan ia, bukan mereka. Bukan si marah, bukan si cemas. Tapi aku yang tak lagi gundah dengan duniaku. Aku yang telah menghela nafas panjang, merasakan geliat bernama damai merasuki hati secara perlahan.

No comments:

Post a Comment