“...You're not
how much money you've got in the bank. You're not your job. You're not
your family, and you're not who you tell yourself.... You're not your name....
You're not your problems.... You're not your age.... You are not your hopes.”
~ Chuck Palahniuk
Jika aku bukanlah uangku, bukan
pula pekerjaanku. Bahkan jika aku pun bukan harapanku, lalu siapa aku? Hanyalah seorang lelaki setengah baya
pelaku rutinitas. Bangun di pagi
hari, melakukan hal yang sama setiap hari, dan menjalani hari yang
begitu-begitu saja kata mereka.
Insomnia. Aku
marah, tahukah kamu? Karena aku cemas akan pengakuan atas keberadaanku.
Ternyata sang cemas datang dalam wujud insomnia. Dan ketika pria dengan keluhan
kanker itu datang memelukku, menangis meraung-raung sambil mengusap air matanya
di depan wajahku, entah mengapa rasa lega datang dan dengan tenang dapat
menutup kedua mataku hingga esok hari.
Namun ternyata tak berhenti sampai di situ. Energi rasa
marah yang selama ini diam dan duduk manis, tak lagi bisa dipendam. Dan
seseorang menantangku untuk berkelahi. Tanpa pakaian dan tanpa senjata. Tak ada
batas waktu. Ia dapat melepaskan tinju ke arah wajahku sepanjang ia mampu dan
mau. Puaskah ia? Tentu tidak. Darahku pun tak cukup. Ia meludahi,
menghancurkan, membinasakan mereka yang punya kekuatan. Bukan hanya aku. Tapi
mereka.
Tapi tolong jangan lakukan itu semua, hai teman. Aku tak
bisa sejahat itu. Apa kata mereka nanti jika mereka tahu bahwa malam ini adalah
malam terakhir mereka? Memangnya siapa aku? Malaikat pencabut nyawa pun bukan.
Tak adil rasanya jika begitu. Jadi jangan salahkan aku jika aku membentakmu,
teman. Karena kau salah, dan aku benar! Di mana hati nuranimu?! Masih berteriakkah rasa marahmu
kepada dunia di dalam sana?! BILANG
KALAU KAU BERANI! AKU BILANG, TERIAKKAN!!
Hilang. Kemana kamu? Pergi begitu saja meninggalkan aku
disini dengan peralatan-penuh-dosamu. Lalu mengapa sang perempuan itu berada di
sini dengan lelaki itu? Lalu mengapa ia membisikkan sesuatu di telingaku dengan
perlahan, “Kamu bukanlah dia. Pergilah, wahai rasa marah. Pergi dan jangan
tinggalkan jejakmu di sini. Karena ia bukanlah kau, yang meluap-luap dan
merusak.” Mataku terpejam. Dan untuk yang pertama kalinya, aku tertidur dengan
tenang.
Aku kembali menjadi aku seutuhnya. Bukan ia, bukan mereka.
Bukan si marah, bukan si cemas. Tapi aku yang tak lagi gundah dengan duniaku.
Aku yang telah menghela nafas panjang, merasakan geliat bernama damai merasuki
hati secara perlahan.
No comments:
Post a Comment